ASKEP SINDROM NEFROTIK
KONSEP DASAR
1. Pengertian
Sindrom
nefrotik adalah kumpulan gejala klinis yang timbul dari kehilangan
protein karena kerusakan glomerulus yang difus. (Luckmans, 1996 : 953).
Sindrom
nefrotik adalah penyakit dengan gejala edema, proteinuria,
hipoalbuminemia dan hiperkolesterolemia kadang-kadang terdapat
hematuria, hipertensi dan penurunan fungsi ginjal. (Ngastiyah, 1997).
2. Etiologi
Sebab
penyakit sindrom nefrotik yang pasti belum diketahui, akhir-akhir ini
dianggap sebagai suatu penyakit autoimun. Jadi merupakan suatu reaksi
antigen-antibodi. Umumnya para ahli membagi etiologinya menjadi:
1. Sindrom nefrotik bawaan
Diturunkan
sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal. Gejalanya
adalah edema pada masa neonatus. Sindrom nefrotik jenis ini resisten
terhadap semua pengobatan. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah
pencangkokan ginjal pada masa neonatus namun tidak berhasil. Prognosis
buruk dan biasanya penderita meninggal dalam bulan-bulan pertama
kehidupannya.
2. Sindrom nefrotik sekunder
Disebabkan oleh:
1. Malaria kuartana atau parasit lain.
2. Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura anafilaktoid.
3. Glumeronefritis akut atau glumeronefritis kronis, trombisis vena renalis.
4. Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, sengatan lebah, racun oak, air raksa.
5. Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membranoproliferatif hipokomplementemik.
2. Sindrom nefrotik idiopatik ( tidak diketahui sebabnya )
Berdasarkan
histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal dengan pemeriksaan
mikroskop biasa dan mikroskop elektron, Churg dkk membagi dalam 4
golongan yaitu: kelainan minimal,nefropati membranosa,
glumerulonefritis proliferatif dan glomerulosklerosis fokal segmental.
3. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala yang muncul pada anak yang mengalami Sindrom nefrotik adalah:
1. Oedem umum ( anasarka ), terutama jelas pada muka dan jaringan periorbital.
2. Proteinuria dan albuminemia.
3. Hipoproteinemi dan albuminemia.
4. Hiperlipidemi khususnya hipercholedterolemi.
5. Lipid uria.
6. Mual, anoreksia, diare.
7. Anemia, pasien mengalami edema paru.
4. Klasifikasi
Whaley dan Wong (1999 : 1385) membagi tipe-tipe sindrom nefrotik:
1. Sindrom Nefrotik Lesi Minimal ( MCNS : minimal change nephrotic syndrome).
Kondisi
yang sering menyebabkan sindrom nefrotik pada anak usia sekolah. Anak
dengan sindrom nefrotik ini, pada biopsi ginjalnya terlihat hampir
normal bila dilihat dengan mikroskop cahaya.
2. Sindrom Nefrotik Sekunder
Terjadi
selama perjalanan penyakit vaskuler seperti lupus eritematosus
sistemik, purpura anafilaktik, glomerulonefritis, infeksi system
endokarditis, bakterialis dan neoplasma limfoproliferatif.
3. Sindrom Nefrotik Kongenital
Factor
herediter sindrom nefrotik disebabkan oleh gen resesif autosomal. Bayi
yang terkena sindrom nefrotik, usia gestasinya pendek dan gejala
awalnya adalah edema dan proteinuria. Penyakit ini resisten terhadap
semua pengobatan dan kematian dapat terjadi pada tahun-yahun pertama
kehidupan bayi jika tidak dilakukan dialysis.
5. Patofisiologi
Kelainan
yang terjadi pada sindrom nefrotik yang paling utama adalah proteinuria
sedangkan yang lain dianggap sebagai manifestasi sekunder. Kelainan ini
disebabkan oleh karena kenaikan permeabilitas dinding kapiler
glomerulus yang sebabnya belum diketahui yang terkait dengan hilannya
muatan negative gliko protein dalam dinding kapiler. Pada sindrom
nefrotik keluarnya protein terdiri atas campuran albumin dan protein
yang sebelumnya terjadi filtrasi protein didalam tubulus terlalu banyak
akibat dari kebocoran glomerolus dan akhirnya diekskresikan dalam urin.
(Husein A Latas, 2002 : 383).
Pada sindrom nefrotik protein hilang
lebih dari 2 gram perhari yang terutama terdiri dari albumin yang
mengakibatkan hipoalbuminemia, pada umumnya edema muncul bila kadar
albumin serum turun dibawah 2,5 gram/dl. Mekanisme edema belum
diketahui secara fisiologi tetapi kemungkinan edema terjadi karena
penurunan tekanan onkotik/ osmotic intravaskuler yang memungkinkan
cairan menembus keruang intertisial, hal ini disebabkan oleh karena
hipoalbuminemia. Keluarnya cairan keruang intertisial menyebabkan edema
yang diakibatkan pergeseran cairan. (Silvia A Price, 1995: 833).
Akibat
dari pergeseran cairan ini volume plasma total dan volume darah arteri
menurun dibandingkan dengan volume sirkulasi efektif, sehingga
mengakibatkan penurunan volume intravaskuler yang mengakibatkan
menurunnya tekanan perfusi ginjal. Hal ini mengaktifkan system rennin
angiotensin yang akan meningkatkan konstriksi pembuluh darah dan juga
akan mengakibatkan rangsangan pada reseptor volume atrium yang akan
merangsang peningkatan aldosteron yang merangsang reabsorbsi natrium
ditubulus distal dan merangsang pelepasan hormone anti diuretic yang
meningkatkan reabsorbsi air dalam duktus kolektifus. Hal ini
mengakibatkan peningkatan volume plasma tetapi karena onkotik plasma
berkurang natrium dan air yang direabsorbsi akan memperberat edema.
(Husein A Latas, 2002: 383).
Stimulasi renis angiotensin, aktivasi
aldosteron dan anti diuretic hormone akan mengaktifasi terjadinya
hipertensi. Pada sindrom nefrotik kadar kolesterol, trigliserid, dan
lipoprotein serum meningkat yang disebabkan oleh hipoproteinemia yang
merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati, dan terjadinya
katabolisme lemak yang menurun karena penurunan kadar lipoprotein
lipase plasma. Hal ini dapat menyebabkan arteriosclerosis. (Husein A
Latas, 2002: 383).
7. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
1. Urine
Volume
biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (fase oliguria). Warna urine kotor,
sediment kecoklatan menunjukkan adanya darah, hemoglobin, mioglobin,
porfirin.
2. Darah
Hemoglobin menurun karena adanya anemia.
Hematokrit menurun. Natrium biasanya meningkat, tetapi dapat
bervariasi. Kalium meningkat sehubungan dengan retensi seiring dengan
perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolisis sel
darah merah). Klorida, fsfat dan magnesium meningkat. Albumin <>
2. Biosi ginjal dilakukan untuk memperkuat diagnosa.
8. Penatalaksanan
1.
Diperlukan tirah baring selama masa edema parah yang menimbulkan
keadaan tidak berdaya dan selama infeksi yang interkuten. Juga
dianjurkan untuk mempertahankan tirah baring selama diuresis jika
terdapat kehilangan berat badan yang cepat.
2. Diit. Pada beberapa
unit masukan cairan dikurangi menjadi 900 sampai 1200 ml/ hari dan
masukan natrium dibatasi menjadi 2 gram/ hari. Jika telah terjadi
diuresis dan edema menghilang, pembatasan ini dapat dihilangkan.
Usahakan masukan protein yang seimbang dalam usaha memperkecil
keseimbangan negatif nitrogen yang persisten dan kehabisan jaringan
yang timbul akibat kehilangan protein. Diit harus mengandung 2-3 gram
protein/ kg berat badan/ hari. Anak yang mengalami anoreksia akan
memerlukan bujukan untuk menjamin masukan yang adekuat.
3. Perawatan
kulit. Edema masif merupakan masalah dalam perawatan kulit. Trauma
terhadap kulit dengan pemakaian kantong urin yang sering, plester atau
verban harus dikurangi sampai minimum. Kantong urin dan plester harus
diangkat dengan lembut, menggunakan pelarut dan bukan dengan cara
mengelupaskan. Daerah popok harus dijaga tetap bersih dan kering dan
scrotum harus disokong dengan popok yang tidak menimbulkan kontriksi,
hindarkan menggosok kulit.
4. Perawatan mata. Tidak jarang mata anak
tertutup akibat edema kelopak mata dan untuk mencegah alis mata yang
melekat, mereka harus diswab dengan air hangat.
5. Kemoterapi:
•
Prednisolon digunakan secra luas. Merupakan kortokisteroid yang
mempunyai efek samping minimal. Dosis dikurangi setiap 10 hari hingga
dosis pemeliharaan sebesar 5 mg diberikan dua kali sehari. Diuresis
umumnya sering terjadi dengan cepat dan obat dihentikan setelah 6-10
minggu. Jika obat dilanjutkan atau diperpanjang, efek samping dapat
terjadi meliputi terhentinya pertumbuhan, osteoporosis, ulkus peptikum,
diabeters mellitus, konvulsi dan hipertensi.
• Jika terjadi resisten
steroid dapat diterapi dengan diuretika untuk mengangkat cairan
berlebihan, misalnya obat-abatan spironolakton dan sitotoksik (
imunosupresif ). Pemilihan obat-obatan ini didasarkan pada dugaan
imunologis dari keadaan penyakit. Ini termasuk obat-obatan seperti
6-merkaptopurin dan siklofosfamid.
1. Penatalaksanaan krisis
hipovolemik. Anak akan mengeluh nyeri abdomen dan mungkin juga muntah
dan pingsan. Terapinya dengan memberikan infus plasma intravena.
Monitor nadi dan tekanan darah.
2. Pencegahan infeksi. Anak yang
mengalami sindrom nefrotik cenderung mengalami infeksi dengan
pneumokokus kendatipun infeksi virus juga merupakan hal yang menganggu
pada anak dengan steroid dan siklofosfamid.
3. Perawatan spesifik
meliputi: mempertahankan grafik cairan yang tepat, penimbnagan harian,
pencatatan tekanan darah dan pencegahan dekubitus.
4. Dukungan bagi
orang tua dan anak. Orang tua dan anak sering kali tergangu dengan
penampilan anak. Pengertian akan perasan ini merupakan hal yang
penting. Penyakit ini menimbulkan tegangan yang berta pada keluarga
dengan masa remisi, eksaserbasi dan masuk rumah sakit secara periodik.
Kondisi ini harus diterangkan pada orang tua sehingga mereka mereka
dapat mengerti perjalanan penyakit ini. Keadaan depresi dan frustasi
akan timbul pada mereka karena mengalami relaps yang memaksa perawatan
di rumahn sakit.
II. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Lakukan pengkajian fisik, termasuk pengkajian luasnya edema.
Kaji riwayat kesehatan, khususnya yang berhubungan dengan adanya peningkatan berat badan dan kegagalan fungsi ginjal.
Observasi adanya manifestasi dari Sindrom nefrotik : Kenaikan berat
badan, edema, bengkak pada wajah ( khususnya di sekitar mata yang
timbul pada saat bangun pagi , berkurang di siang hari ), pembengkakan
abdomen (asites), kesulitan nafas ( efusi pleura ), pucat pada kulit,
mudah lelah, perubahan pada urin ( peningkatan volum, urin berbusa ).
Pengkajian diagnostik meliputi meliputi analisa urin untuk protein, dan
sel darah merah, analisa darah untuk serum protein ( total
albumin/globulin ratio, kolesterol ) jumlah darah, serum sodium.
2. Prioritas Diagnosa Keperawatan
• Kelebihan volume cairan b. d. penurunan tekanan osmotic plasma. ( Wong, Donna L, 2004 : 550)
• Perubahan pola nafas b.d. penurunan ekspansi paru.(Doengoes, 2000: 177)
• Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. anoreksia. (Carpenito,1999: 204)
• Resti infeksi b.d. menurunnya imunitas, prosedur invasif (Carpenito, 1999:204).
• Intoleransi aktivitas b.d. kelelahan. (Wong, Donna L, 2004:550)
• Gangguan integritas kulit b.d. immobilitas.(Wong,Donna,2004:550)
• Gangguan body image b.d. perubahan penampilan. (Wong, Donna, 2004:553).
• Gangguan pola eliminasi:diare b.d. mal absorbsi.
3. Perencanaan Keperawatan
Kelebihan volume cairan b. d. penurunan tekanan osmotic plasma. ( Wong, Donna L, 2004 : 550)
Tujuan: tidak terjadi akumulasi cairan dan dapat mempertahankan keseimbangan intake dan output.
KH: menunjukkan keseimbangan dan haluaran, tidak terjadi peningkatan berat badan, tidak terjadi edema.
Intervensi:
• Pantau, ukur dan catat intake dan output cairan
• Observasi perubahan edema
• Batasi intake garam
• Ukur lingkar perut
• timbang berat badan setiap hari
Perubahan pola nafas b.d. penurunan ekspansi paru.(Doengoes, 2000: 177)
kolaborasi pemberian obat-obatan sesuai program dan monitor efeknya
Tujuan: Pola nafas adekuat
KH: frekuensi dan kedalaman nafas dalam batas normal
Intervensi:
1. auskultasi bidang paru
2. pantau adanya gangguan bunyi nafas
3. berikan posisi semi fowler
4. observasi tanda-tanda vital
5. kolaborasi pemberian obat diuretik
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. anoreksia. (Carpenito,1999: 204)
Tujuan: kebutuhan nutrisi terpenuhi
KH: tidak terjadi mual dan muntah, menunjukkan masukan yang adekuat, mempertahankan berat badan
Intervensi:
1. tanyakan makanan kesukaan pasien
2. anjurkan keluarga untuk mrndampingi anak pada saat makan
3. pantau adanya mual dan muntah
4. bantu pasien untuk makan
5. berikan makanan sedikit tapi sering
6. berikan informasi pada keluarga tentang diet klien
Resti infeksi b.d. menurunnya imunitas, prosedur invasif. (Carpenito, 1999:204).
Tujuan: tidak terjadi infeksi
KH: tidak terdapat tanda-tanda infeksi, tanda-tanda vitl dalam batas normal, leukosit dalam batas normal.
Intervensi:
1. cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan
2. pantau adanya tanda-tanda infeksi
3. lakukan perawatan pada daerah yang dilakukan prosedur invasif
4. anjurkan keluarga untuk mrnjaga kebersihan pasien
5. kolaborasi pemberian antibiotik
Intoleransi aktivitas b.d. kelelahan. (Wong, Donna L, 2004:550)
Tujuan: pasien dapat mentolerir aktivitas dan mrnghemat energi
KH: menunjukkan kemampuan aktivitas sesuai dengan kemampuan, mendemonstrasikan peningkatan toleransi aktivitas
Intervensi:
1. pantau tingkat kemampuan pasien dalan beraktivitas
2. rencanakan dan sediakan aktivitas secara bertahap
3. anjurkan keluarga untuk membantu aktivitas pasien
4. berikan informasi pentingnya aktivitas bagi pasien
Gangguan integritas kulit b.d. immobilitas.(Wong,Donna,2004:550)
Tujuan: tidak terjadi kerusakan integritas kulit
KH: integritas kulit terpelihara, tidak terjadi kerusakan kulit
Intervensi:
1. inspeksi seluruh permukaan kulit dari kerusakan kulit dan iritasi
2. berikan bedak/ talk untuk melindungi kulit
3. ubah posisi tidur setiap 4 jam
4. gunakan alas yang lunak untuk mengurangi penekanan pada kulit.
7. Gangguan body image b.d. perubahan penampilan. (Wong, Donna, 2004:553).
Tujuan: tidak terjadi gangguan boby image
KH: menytakan penerimaan situasi diri, memasukkan perubahan konsep diri tanpa harga diri negatif
Intervensi:
1. gali perasaan dan perhatian anak terhadap penampilannya
2. dukung sosialisasi dengan orang-orang yang tidak terkena infeksi
3. berikan umpan balik posotif terhadap perasaan anak
8. Gangguan pola eliminasi:diare b.d. mal absorbsi.
Tujuan: tidak terjadi diare
KH: pola fungsi usus normal, mengeluarkan feses lunak
Intervensi:
1. observasi frekuensi, karakteristik dan warna feses
2. identifikasi makanan yang menyebabkan diare pada pasien
3. berikan makanan yang mudah diserap dan tinggi serap.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2003. Medical Surgical Nursing (Perawatan Medikal Bedah), alih bahasa: Monica Ester. Jakarta : EGC.
Carpenito, L. J.1999. Hand Book of Nursing (Buku Saku Diagnosa Keperawatan), alih bahasa: Monica Ester. Jakarta: EGC.
Doengoes,
Marilyinn E, Mary Frances Moorhouse. 2000. Nursing Care Plan:
Guidelines for Planning and Documenting Patient Care (Rencana Asuhan
Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan
Pasien), alih bahasa: I Made Kariasa. Jakarta: EGC.
Donna L, Wong. 2004. Pedoman Klinis Keperawatan Anak, alih bahasa: Monica Ester. Jakarta: EGC.
Husein A Latas. 2002. Buku Ajar Nefrologi. Jakarta: EGC.
Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC.
Price
A & Wilson L. 1995. Pathofisiology Clinical Concept of Disease
Process (Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit), alih
bahasa: Dr. Peter Anugrah. Jakarta: EGC.